Oleh: Lifia Feby Wulandari

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara harus menjadi jiwa yang menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila baik sebagai ideologi dan dasar negara sampai hari ini tetap kokoh menjadi landasan dalam bernegara. Pancasila juga tetap tercantum dalam konstitusi negara kita meskipun beberapa kali mengalami pergantian dan perubahan konstitusi. Ini menunjukkan bahwa Pancasila merupakan konsensus nasional dan dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat Indonesia. Pancasila terbukti mempu memberi kekuatan kepada bangsa Indonesia, sehingga perlu dimaknai, direnungkan, dan diingat oleh seluruh komponen bangsa.

Upaya memaknakan Pancasila penting dilakukan agar Pancasila lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, dapat memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran yang bersifat abstraksi-filosofis akan menjadi lebih bermakna apabila dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam suasana kehidupan sosial-perekonomian yang ditandai oleh aneka kesenjangan sosial, kompetisi ekonomi diletakkan dalam kompetisi yang kooperatif (coopetition) berlandaskan asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam nya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing pelaku ekonomi diberi peran masing-masing yang secara keseluruhan mengembangkan semangat kekeluargaan. Peran individu (pasar) diberdayakan, dengan tetap menempatkan Negara dalam posisi yang penting dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitasi, penyediaan, dan rekayasa sosial, serta penyediaan jaminan sosial.

Jika diletakkan dalam perspektif teoritis komparatif, gagasan keadilan sosial menurut Pancasila merekonsiliasikan prinsip-prinsip etik dalam keadilan ekonomi baik yang bersumber dari hukum alam, hukum Tuhan, dan sifat-sifat sosial manusia, yang dikonseptualisasikan sejak pemikiran para filosof Yunani, pemikiran-pemikiran keagamaan, teori-teori ekonomi merkantilis, ekonomi liberalisme klasik dan neo-klasik, teori-teori Marxisme-sosialisme, sosial-demokrasi hingga Jalan ketiga. Gagasan keadilan ekonomi menurut sosialisme Pancasila mempunyai kesejajarannya dengan diskursus sosial-demokrasi di Eropa, tetapi juga memiliki akar kesejarahannya dalam tradisi sosialisme-desa dan sosialisme-religius masyarakat Indonesia.

Demikianlah, para pendiri bangsa ini telah mewariskan kepada kita suatu dasar falsafah dan pandangan hidup negara yang menjiwai penyusunan Undang-Undang Dasar yang begitu visioner dan tahan banting (durable). Suatu dasar falsafah yang memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat yang dapat membimbing bangsa Indonesia dalam meraih cita-cita kemerdekaan dan tujuan nasionalnya.

Hukum Dan Keadilan Dalam Perekonomian Bangsa

Pembahasan mengenai keadilan selalu menjadi hangat untuk diperbincangkan, bahkan pembicaraan tentang keadilan telah dimulai sejak Aristoteles hingga saat ini. Salah satu Filsuf sangat terkenal yang membahas keadilan dari kacamata keadilan sosial yakni, John Rawls. Konsep keadilan sosial oleh John Rawls yakni merupakan “Prinsip kebijaksanaan rasional yang diterapkan pada konsep kesehjateraan agregatif (hasil pengumpulan kelompok)” Dimana yang menjadi subjek utama keadilan sosial adalah struktur masyarakat, atau lebih tepatnya,cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimesi kerakyatan haruslah memerhatikan dua prinsip keadilan, yaitu: Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.

Pemikiran keadilan dalam hubungannya dengan hukum sejak lama sudah dikemukakan. Menurut Bahder Johan (2018:118), ada pengaruh timbal balik antara hukum dan keadilan, yaitu bahwa hukum diciptakan berdasarkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah moral yang adil, yang sudah ada terlebih dahulu dan yang telah hidup dalam masyarakat, jadi tugas pembentuk undang-undang hanya merumuskan apa yang sudah ada. Sedangkan dilain pihak terdapat kemungkinan bahwa perumusan hukum itu sendiri hanya bersifat memberikan interpretasi, atau memberikan norma baru termasuk norma keadilan. Tentang apa yang dimaksud dengan keadilan meliputi dua hal, yaitu yang menyangkut hakekat keadilan dan yang menyangkut dengan isi atau norma, untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu.

Menurut Bahder Johan (2018:120), untuk memahami hukum yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, terlebih dahulu harus dipahami makna hukum yang sesungguhnya. Makna hukum itu ialah mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia. Makna ini akan tercapai dengan dimasukkannya prinsip-prinsip keadilan dalam pengaturan hidup bersama tersebut. Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum positif yang merupakan realisasi dari prinsip-prinsip keadilan. Bertolak dari pemikiran yang demikian, pengaturan hak dan kebebasan masyarakat dengan menggunakan kriteria keadilan, menunjukkan bahwa di dalam diri manusia, ada perasaan keadilan yang membawa orang pada suatu penilaian terhadap factor-faktor yang berperan dalam pembentukan hukum. Keinsyafan akan perasaan keadilan ini bukan hanya dimiliki oleh warga negara tapi juga oleh penguasa. Oleh karena itu, dengan dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan, maka keadilan itu dapat disebut sebagai prinsip hukum atau ide hukum.

Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Kesehjateraan) dalam Pancasila pada prinsip nya menegaskan bahwa seyogyanya tidak akan ada kemiskinan dalam Indonesia Merdeka. Bangsa Indonesia bukan hanya memiliki demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi. Indonesia harus memiliki keadilan politik dan keadilan ekonomi sekaligus. Indonesia harus memiliki kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara khusus, keadilan sosial dalam sila kelima Pancasila ini menekankan prinsip keadilan dan kesehjateraan ekonomi, atau apa yang disebut Soekarno sebagai prinsip sociale rechtvaardigheid. Yakni, bahwa persamaan, emansipasi dan partisipasi yang dikehendaki bangsa ini bukan hanya di bidang politik, melainkan juga di bidang perekonomian.

Kemudahan Berusaha Dalam Kluster UU Cipta Kerja

Bagaimana prinsip-prinsip kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja? Apakah prinsip-prinsip tersebut telah sejalan dengan ideologi negara dalam mencapai kesehjateraan perekonomian bangsa? Apakah UU Cipta Kerja telah memberikan kepastian hukum dalam kemudahan berusaha?

Banyak nya pertanyaan yang menimbulkan pro kontra dalam penyusunan hingga diresmikannya UU Cipta Kerja, khusunya dalam kluster kemudahan berusaha. Sejak resmi diundangkan pada tanggal 2 November 2020. Dengan teknik Omnibus Law, sekitar 80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200 pasal bisa direvisi sekaligus hanya dengan satu UU Cipta Kerja yang mengatur multisector, dengan 11 kluster. Aturan sapu jagat ini berisi 15 bab dan 186 Pasal yang terdiri dari 905 halaman

Presiden Jokowi, dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2019, di Rafles Hotel, Jakarta, Kamis malam (28/11/2019) mengatakan: “50 tahun waktu yang dibutuhkan jika merevisi UU satu per satu. Melalui Omnibus Law, penyederhanaan regulasi bisa dipercepat.” Mengapa perlu terobosan omnibus law? Menaikkan kemudahan berusaha dari peringkat 73 (2020) ke posisi 53 dunia, kebijakan horizontal & vertikal saling berbenturan, indeks regulasi indonesia masih rendah, terdapat fenomena hyper regulation (regulasi berlebihan), kebijakan tidak efisien, uu bersifat sektoral, sering tidak sinkron & tidak ada kepastian hukum. UU Cipta Kerja bermanfaat untuk memperbaiki iklim investasi dan mewujudkan kepastian hukum

Kehadiran UU Cipta Kerja dalam landasan filosofis adalah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur melalui pemenuhan ihwal atas pekerjaan dan kehidupan yang layak dengan mendorong investasi. Sedangkan secara sosiologis adalah peningkatan jumlah tenaga kerja yang tinggi sementara penyerapan dan lowongan tenaga kerja masih rendah. Sementara untuk investasi sebagai sarana penyerapan tenaga kerja mengalami kesulitan untuk memulai kegiatan usaha dan perizinannya yang berbelit-belit hingga prosesnya yang memakan waktu lama. Selanjutnya, secara yuridis peraturan perundang-undangan yang ada saling tumpang tindih dan mengunci satu sama lain, sehingga tidak efiktif dan efisien serta menimbulkan biaya yang tinggi

Undang-Undang Cipta Kerja mempermudah perizinan usaha dari yang awalnya berbasis izin menjadi berbasis resiko dan skala usaha. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 BAB III. Kementerian Keuangan menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja akan menjadi salah satu modal pemulihan ekonomi pada tahun 2021. Inti dari dibentuknya UU ini adalah untuk menyederhanakan perizinan dalam berusaha, sehingga memudahkan masyarkat yang akan memulai usaha tanpa memikirkan rumitnya birokrasi dalam pengaturannya. Fokus kemudahan tersebut yaitu pada UMKM dan pendirian Perseroan Terbatas yang bersifat Perseorangan.

Konsep mengenai perusahaan perseorangan yang menjadi salah satu program dalam klister cipta lapangan kerja merupakan bentuk usaha yang paling sederhana untuk dibuat. Zainal Askin dan Wira Pria Suhartana mendefinisikan perusahaan perseorangan merupakan perusahaan yang bisa dijalankan oleh satu orang pengusaha, berbeda dengan Perseroan Terbatas yang harus dijalankan dengan banyak orang dan memiliki persyararatan yang lebih rumit, sehingga dapat dikatakan bahwa perusahaan perseorangan sangat cocok menjadi solusi dalam memulai bisnis bagi sesorang pemula dan memiliki prosedur yang lebih mudah dalam pembentukannya. Perusahaan ini juga tidak ada kewajiban harus terdaftar pada suatu instansi sehingga tidak membutuhkan pihak lain dalam hal perizinan dan sebagainya, begitu pula dalam pembubarannya juga tidak memerlukan pihak lain. Terhadap perusahaan perseorangan tidak ditemukan pengaturan baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) maupun peraturan perundangundangan lainnya. Diantara negara yang ada di ASEAN Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki prosedur terbanyak dan memiliki waktu yang relative lama dalam penyelesaian prosedur pendirian badan hukum PT. Oleh karena itu dalam UU Cipta Kerja pemerintah merencanakan untuk menyederhanakan yang rumit dan memudahkan yang sulit dengan membuat aturan tentang pendirian PT Perseorangan.

PT Perseorangan merupakan perusahaan perseorangan yang didirikan oleh satu orang dengan bentuk badan hukum serta memiliki tanggungjawab terbatas. Chewaka (2016) menyebutkan bahwa pembentukan model PT Perseorangan adalah hasil dari sifat natural keinginan setiap orang yang hendak membentuk perusahaan yang tanggungjawabnya terbatas namun bisa didirikan oleh satu orang saja. Artinya maju atau tidaknya suatu perusahaan tidak ditentukan oleh berapa banyak yang mendirikannya. Meskipun hanya didirikan oleh satu orang tetapi tetap bisa berjalan. PT Perseorangan ini sudah diterapkan diberbagai negara diantaranya adalah Uni Eropa, United Kingdom, Malaysia, dan Singapura.

Kemudahan berusaha yang dimaksud adalah penyederhanaan UU tentang pendirian Perseroan Terbatas yang bersifat perseorangan, dimana sebelumnya prosedur dan prosesnya dikenal cukup lama dan rumit maka dalam Undang Undang ini disederhankan dalam segi pendirian dan mendapatkan izin hal tersebut sesuai dengan Undang Undang Nomor 27 tentang Perseroan Terbatas dan terkait dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 2008. Kemudahan berusaha yang dibuat diharapkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia dan dapat meningkatkan peringkat kemudahan berbisnis Indonesia.

*Penulis merupakan mahasiswi Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Jambi